Rabu, 13 Januari 2016

Ironi Hukum (2) : KUHP

Pikirkan sejenak, kosongkan gelas kalian. Lalu resapi baik-baik gambar dibawah ini




Kita lihat sejenak penegakan hukum di Indonesia. Dari tulisan di blog saya sebelumnya (Ironi Hukum (1) : Tajam ke Bawah, Tumpul ke Atas) jelas terlihat bahwa penegakan hukum kita sangat lemah. Yang lemah tak dapat keadilan setara, yang kuat makin berkuasa. Apa saja dihalalkan. Hakim, jaksa, pengacara semuanya juga edan.

Dengan demikian, semakin lama hukum tak memberi keadilan. Supremasi hukum tiada artinya kalau integritas digadaikan. Hati nurani semakin terkikis. Mengapa? Semua karena uang. Dengan uang, kita bisa beli apapun yang kita mau. Uang adalah alat tukar dalam perdagangan. Maka dari itu kala manusia "mendewakan" uang, uang bisa dijadikan Tuhan kedua. 

Sekarang apa hubungannya dengan hukum? Yup, bisnis jual beli hukum. Pasal-pasal dalam undang-undang bisa digunakan untuk kepentingan pribadi. Modusnya? Lewat pengacara, hakim dan jaksa, bahkan kalau punya keluarga atau teman yang bekerja di bidang hukum, mereka bisa jadi "orang dalam" untuk memuluskan kepentingannya. Kalau imannya nggak kuat, pasti mereka akan tunduk dengan uang. Dasar orang Indonesia, lihat uang langsung matanya "hijau". Jangan lupa, di DPR kalau mau bikin UU harus ada "deal" dulu. Bisa jadi uang, jabatan atau yang lainnya jadi pelicin. Yang jelas, uang yang "berbicara".

Begitulah ironi negeri ini, dimana kasus-kasus hukum tidak diselesaikan secara hukum dulu, "Deal dulu"! (mengutip kata-kata Permadi dalam suatu acara). So, hukum kita adalah KUHP (Kasih Uang Habis Perkara).

Tidak ada komentar: