Masyarakat Indonesia sendiri sudah menggilai sepakbola. Di Indonesia bahkan sudah banyak komunitas pecinta klub sepakbola, sebut saja Madridista Indonesia (Real Madrid), Juventini Indonesia (Juventus), United Indonesia (Manchester United), Milanisti Indonesia (AC Milan) dan lain-lain. Sepakbola bagi orang Indonesia adalah hiburan. Di tengah menjamurnya tayangan Indonesia yang tidak bermutu seperti FTV, sinetron, film, berita gosip infotainment, dll, sepakbola merupakan tontonan nomor satu. Malah dianggap tayangan fardlu 'ain dibandingkan berita. Jangan heran, klub-klub luar negeri menyebut Indonesia adalah pasar bagi mereka. Pasar untuk meningkatkan rating siar dan penjualan merchandise klub mereka. Perhatikan saja, di pusat perbelanjaan bahkan warung kaki lima saja jualan merchandise klub sepakbola mulai dari kualitas KW3 hingga yang asli,
Sayangnya, kecintaan masyarakat Indonesia terhadap klub sepakbola khususnya sangat berlebihan. Di Indonesia sudah sering terdengar kericuhan dan tawuran antarsuporter. Korban tewas pun banyak. Kerugian materiil juga banyak, seperti fasilitas umum, rumah, stadion dll banyak yang rusak. Belum lagi ditambah muncul meme provokasi klub sepakbola di media sosial. Dimana banyak suporter klub sepakbola yang masih alay dan karbitan saling serang, bahkan ada yang berani taruhan aneh-aneh hingga sampai mengajak duel sampai mati. Lengkap sudah dengan adanya kisruh PSSI-Menpora. Pemicunya? Fanatisme buta terhadap klubnya. Mengapa bisa demikian?
Ada beberapa faktor, pertama adalah fanatisme kedaerahan. Seperti yang kita tahu Indonesia memiliki jumlah suku, ras dan bahasa terbanyak di dunia. Contoh klub sepakbola daerah di Indonesia yang terkenal adalah Persija Jakarta dan Persib Bandung. The Jak (suporter Persija) sudah lama bermusuhan dengan Viking (Persib). Apalagi bahasa daerah mereka berbeda. Ditambah gengsi prestasi klub, komplit sudah permusuhan mereka. Upaya perdamaian pun selalu kandas
Kedua, terprovokasi berita. Ambil saja El Clasico. Rivalitas Real Madrid dan Barcelona sampai sekarang masih menggurita dari klub hingga suporternya. Pemberitaan yang luas membuat di media sosial sering saling serang antara kedua suporter itu. Baik psywar hingga rasis. Di Indonesia? Ada juga, contohnya Bonek (suporter Persebaya Surabaya) dan Aremania (suporter Arema Cronus Malang). Gara-gara pemberitaan di media sosial, Bonek dan Aremania terlibat bentrok. Demi harga diri, solidaritas klub hingga daerah, harta dan nyawa jadi taruhannya. Sampai sekarang kedua suporter ini masih panas (tidak akur).
Ketiga, mental orang Indonesia. Inilah problem utama sebenarnya. Diharapkan pemerintah sekarang yang menyerukan "Revolusi Mental", tidak ada saling serang dan bentrok antar klub sepakbola. Tapi kenyataannya? Masih saja terjadi. Fanatisme buta orang Indonesia terhadap klub sepakbola kesayangannya sudah mengakar kuat. Tuhan pun bahkan mereka gadaikan demi klub kesayangannya. Seakan-akan mereka dan klub kesayangannya paling benar sendiri dan berhak mem-bully suporter klub lawan maupun klubnya. Masih banyak kan yang seperti itu? Teman jadi lawan, begitupun sebaliknya. Politik yang merasuki sepakbola Indonesia semakin menambah rusak mental kita.
Maka kesimpulannya adalah fanatisme orang Indonesia terhadap klub sepakbola sangatlah kuat. Hanya dengan merubah mental dan introspeksi diri itulah yang mampu mengurangi fanatisme buta kita. Merubah mental seseorang itu sulit. Kalau dalam hadits (dalam Islam) dikatakan "Allah tak akan merubah nasib seseorang sebelum seseorang itu berusaha sendiri". Mulai sajalah dari hal kecil seperti tetap respect terhadap orang lain meskipun klub idolanya berbeda dengan kita. Pasti tak akan terjadi hal seperti itu. Rival hanya 90 menit, setelah itu tetap sportif. Jangan lupa camkan "Bhinneka Tunggal Ika". Itulah kuncinya.
Saling respect antara Messi dan Ronaldo
Harapan kita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar