Minggu, 28 Agustus 2016

Perdagangan Bebas, Menguntungkan atau Merugikan Indonesia?

Sejak era globalisasi dunia semakin terbuka. Bahkan seluruh orang di dunia bisa dengan mudah mengakses informasi yang ada. Globalisasi berakibat terjadinya keterbukaan informasi dan pasar dimana salah satunya adalah perdagangan bebas. Bagaimana bisa terjadi?

Perdagangan bebas pada mulanya berawal dari kebijakan merkantilisme yang berkembang di Eropa sejak abad 16. Merkantilisme termasuk kebijakan ekonomi nasional yang bertujuan untuk mengumpulkan cadangan moneter melalui keseimbangan perdagangan positif, terutama barang jadi. Secara historis, kebijakan tersebut sering menyebabkan perang dan juga termotivasi untuk melakukan ekspansi kolonial. Teori merkantilis bervariasi dalam penerapannya terkini dari satu penulis ke yang penulis lain dan telah berkembang dari waktu ke waktu. Tarif tinggi, terutama pada barang-barang manufaktur, merupakan fitur yang hampir universal dari kebijakan merkantilis. Kebijakan lainnya termasuk:
   1. Menciptakan koloni di luar negeri
   2. Melarang daerah koloni untuk melakukan perdagangan dengan negara-negara lain
   3. Memonopoli pasar dengan port pokok
   4. Melarang ekspor emas dan perak, bahkan untuk alat pembayaran
   5. Melarang perdagangan untuk dibawa dalam kapal asing
   6. Subsidi ekspor
   7. Mempromosikan manufaktur melalui penelitian atau subsidi langsung
   8. Membatasi upah
   9. Memaksimalkan penggunaan sumber daya dalam negeri
   10. Membatasi konsumsi domestik melalui hambatan non-tarif untuk perdagangan.


Atau dapat dikatakan suatu teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan bahwa besarnya volum perdagangan global teramat sangat penting. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan secara nyata dengan jumlah kapital (mineral berharga, terutama emas maupun komoditas lainnya) yang dimiliki oleh negara dan modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan mencegah (sebisanya) impor sehingga neraca perdagangan dengan negara lain akan selalu positif. Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan mendorong ekspor (dengan banyak insentif) dan mengurangi imporekanisme seperti inilah yang dinamakan dengan sistem ekonomi merkantilisme.
Sistem ini ditentang oleh Adam Smith (dikenal sebagai Bapak Ekonomi Pasar) dimana beliau beranggapan bahwa negara bisa memperoleh keuntungan dari masing-masing dengan memproduksi secara eksklusif dan baik, di mana dari barang yang paling cocok untuk perdagangan antara satu sama lain seperti yang diperlukan untuk keperluan konsumsi. Dalam lapisan ini, itu bukan nilai ekspor relatif terhadap impor yang penting, tetapi nilai dari barang yang diproduksi oleh suatu bangsa. Konsep keunggulan absolut namun tidak membahas situasi di mana negara tidak memiliki keunggulan dalam produksi barang tertentu atau jenis barang.
Kembali ke pertanyaan diatas, apakah Indonesia mendapat keuntungan atau justru merugi akibat perdagangan bebas ini? Seperti kita ketahui Indonesia masih kalah dalam hal daya saing hingga saat ini bahkan nilai ekspor masih kurang walaupun saat ini sudah mulai meningkat. Neraca perdagangan saat ini masih defisit (http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/indonesia-trade-balance). Sistem ekonomi yang berjalan di Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila tetapi prakteknya cenderung sedikit menjurus ke ekonomi liberal (pasar), yang tidak cocok dengan keadaan Indonesia. WTO dan MEA yang diikuti Indonesia jelas efek dari arus globalisasi. Maka dengan kondisi saat ini dimana masih banyak barang impor yang masuk ke Indonesia, jelas dampak perdagangan bebas pada Indonesia cenderung merugikan.

Tidak ada komentar: