Selasa, 30 Agustus 2016

Rokok : Ketika Ekonomi dan Kesehatan Saling Perang


Akhir-akhir ini kita dikejutkan dengan adanya isu kenaikan harga rokok menjadi Rp 50.000 dengan alasan mengurangi jumlah perokok. Belakangan, isu ini didasari sebuah penelitian di FKM Universitas Indonesia soal efek harga rokok terhadap jumlah perokok. Ketua DPR Ade Komaruddin juga menyebut kenaikan harga rokok akan membantu APBN pemasukan cukai tembakau dan mengurangi jumlah perokok. Dari sini sudah jelas ada dua hal utama yang dibahas, yaitu ekonomi dan kesehatan.

Pertama, tinjau dari segi ekonomi. Mau berapapun harganya kalau orang sudah kecanduan rokok ya tetap aja langsung BELI!! Kasus tersebut mencerminkan bahwa rokok termasuk barang dengan permintaan INELASTIS sempurna. Selain itu rokok telah membantu mengatasi pengangguran di Indonesia dengan banyaknya tenaga kerja (sekitar 30 juta) dan petani tembakau dalam industri rokok. Itu saja? TIDAK! Industri kreatif dan periklanan juga terbantu dengan adanya rokok. Cukai tembakau juga meningkat sehingga penerimaan negara terbantu berkat ROKOK. Secara logika, rokok membantu negara dalam mencapai target pertumbuhan ekonomi.

Kedua, tinjau dari kesehatan. Hasil penelitian mengatakan bahwa rokok menyebabkan berbagai macam penyakit seperti kanker, paru-paru, jantung, stroke dan sebagainya. Hal ini tidak lepas dari kandungan bahan kimia (saos) yang terdapat pada rokok seperti tar, nikotin, CO, arsenik, aseton dan beragam zat kimia lainnya. Sudah begitu rokok dapat menimbulkan polusi udara akibat asap rokok yang lepas ke lingkungan dimana sangat berbahaya terhadap lingkungan bumi. Jelas, logikanya seperti iklan dalam bungkus rokok saat ini. MEROKOK MEMBUNUHMU.

Dari sini saya melihat hal menarik, saling perang opini antara ekonomi dan kesehatan. Saya melihat bahaya rokok terletak di saosnya, bukan tembakaunya. Jadi kalau ada yang ngomong tembakau berbahaya karena bahan utama rokok itu NGAWUR! Akal-akalan media yang anti rokok untuk menakuti masyarakat. Buktinya di Kuba orang seperti Fidel Castro yang kuat merokok masih hidup sampai sekarang, 93 TAHUN!! Itu karena rokok yang diisap orang Kuba benar-benar pure tembakau asli. Rokok semacam itu disebut cerutu. Di Indonesia juga ada rokok jenis cerutu yang dibuat dari tembakau Deli. Kualitasnya tak kalah bagus. Kalau di Jawa rokok dengan tembakau murni cocoknya dibuat sigaret (cigarette). Rokok yang diproduksi negara Barat dan kapitalis adalah rokok putih yang banyak saosnya. Makanya kalau ada orang cepat meninggal karena merokok itu karena rokok yang diisapnya adalah rokok putih yang mengandung banyak saos. Tak usah heran, karena rokok dari negara Barat adalah rokok putih.

Di samping itu rokok putih yang dihasilkan negara Barat sudah lebih familier bahkan mayoritas orang Indonesia dan pabrik rokoknya condong memilih rokok putih karena fixed cost nya lebih murah dengan tambahan saos. Kalau rokok murni pasti mahal harganya karena benar-benar murni tembakau dengan sedikit tambahan rempah semisal cengkeh. Maka fixed cost pasti lebih besar.

Kembali dalam hal ekonomi, secara permintaan, semakin murah harga, semakin banyak produksinya dan permintaannya. Maka jika dilihat dari profit, rokok putih berjaya dalam hal ini di Indonesia. Dasar orang Indonesia yang suka lebih memilih beli murah dan jual mahal, ditambah taste orang Indonesia yang cocok dengan barang impor (rokok putih), maka rokok murni macam sigaret dan cerutu kalah bersaing. Akibatnya terjadi persaingan antara rokok putih (Barat) dengan rokok sigaret (lokal). Barat tentu saja dengan sistem ekonomi liberal dan tabiatnya menjalankan politik imperialisme gaya baru (ekonomi), menggunakan isu kesehatan agar masyarakat Indonesia terhasut lalu industri rokok lokal bangkrut. Bukan itu saja, rokok Barat akan masuk dan menguasai penuh pasar industri rokok Indonesia. Jelas, perang dagang sekaligus penjajahan ekonomi. Sekali tepuk dua lalat.

Kesimpulan, jika harga rokok dinaikkan hingga 50 ribu, yang paling kena dampak adalah masyarakat kelas menengah bawah. Akibatnya mereka mencari cara untuk mendapatkan rokok. Jangan heran jika nanti jadi dinaikkan, akan banyak muncul rokok OPLOSAN yang justru SANGAT BERBAHAYA dibandingkan rokok yang ada saat ini. Tidak ada pilihan lain bagi warga selain membelinya karena sangat murah harganya. Akibatnya, saya pastikan laporan warga yang tewas akibat mengisap rokok oplosan semakin meningkat. Barat tentu saja senang dengan memainkan isu kesehatan yang bisa merampas industri rokok nasional. Jadi, ini soal perang ekonomi dengan kesehatan sebagai alatnya. Demikian begitulah adanya. Ironis.

Minggu, 28 Agustus 2016

Perdagangan Bebas, Menguntungkan atau Merugikan Indonesia?

Sejak era globalisasi dunia semakin terbuka. Bahkan seluruh orang di dunia bisa dengan mudah mengakses informasi yang ada. Globalisasi berakibat terjadinya keterbukaan informasi dan pasar dimana salah satunya adalah perdagangan bebas. Bagaimana bisa terjadi?

Perdagangan bebas pada mulanya berawal dari kebijakan merkantilisme yang berkembang di Eropa sejak abad 16. Merkantilisme termasuk kebijakan ekonomi nasional yang bertujuan untuk mengumpulkan cadangan moneter melalui keseimbangan perdagangan positif, terutama barang jadi. Secara historis, kebijakan tersebut sering menyebabkan perang dan juga termotivasi untuk melakukan ekspansi kolonial. Teori merkantilis bervariasi dalam penerapannya terkini dari satu penulis ke yang penulis lain dan telah berkembang dari waktu ke waktu. Tarif tinggi, terutama pada barang-barang manufaktur, merupakan fitur yang hampir universal dari kebijakan merkantilis. Kebijakan lainnya termasuk:
   1. Menciptakan koloni di luar negeri
   2. Melarang daerah koloni untuk melakukan perdagangan dengan negara-negara lain
   3. Memonopoli pasar dengan port pokok
   4. Melarang ekspor emas dan perak, bahkan untuk alat pembayaran
   5. Melarang perdagangan untuk dibawa dalam kapal asing
   6. Subsidi ekspor
   7. Mempromosikan manufaktur melalui penelitian atau subsidi langsung
   8. Membatasi upah
   9. Memaksimalkan penggunaan sumber daya dalam negeri
   10. Membatasi konsumsi domestik melalui hambatan non-tarif untuk perdagangan.


Atau dapat dikatakan suatu teori ekonomi yang menyatakan bahwa kesejahteraan suatu negara hanya ditentukan oleh banyaknya aset atau modal yang disimpan oleh negara yang bersangkutan, dan bahwa besarnya volum perdagangan global teramat sangat penting. Aset ekonomi atau modal negara dapat digambarkan secara nyata dengan jumlah kapital (mineral berharga, terutama emas maupun komoditas lainnya) yang dimiliki oleh negara dan modal ini bisa diperbesar jumlahnya dengan meningkatkan ekspor dan mencegah (sebisanya) impor sehingga neraca perdagangan dengan negara lain akan selalu positif. Merkantilisme mengajarkan bahwa pemerintahan suatu negara harus mencapai tujuan ini dengan melakukan perlindungan terhadap perekonomiannya, dengan mendorong ekspor (dengan banyak insentif) dan mengurangi imporekanisme seperti inilah yang dinamakan dengan sistem ekonomi merkantilisme.
Sistem ini ditentang oleh Adam Smith (dikenal sebagai Bapak Ekonomi Pasar) dimana beliau beranggapan bahwa negara bisa memperoleh keuntungan dari masing-masing dengan memproduksi secara eksklusif dan baik, di mana dari barang yang paling cocok untuk perdagangan antara satu sama lain seperti yang diperlukan untuk keperluan konsumsi. Dalam lapisan ini, itu bukan nilai ekspor relatif terhadap impor yang penting, tetapi nilai dari barang yang diproduksi oleh suatu bangsa. Konsep keunggulan absolut namun tidak membahas situasi di mana negara tidak memiliki keunggulan dalam produksi barang tertentu atau jenis barang.
Kembali ke pertanyaan diatas, apakah Indonesia mendapat keuntungan atau justru merugi akibat perdagangan bebas ini? Seperti kita ketahui Indonesia masih kalah dalam hal daya saing hingga saat ini bahkan nilai ekspor masih kurang walaupun saat ini sudah mulai meningkat. Neraca perdagangan saat ini masih defisit (http://www.kemendag.go.id/id/economic-profile/indonesia-export-import/indonesia-trade-balance). Sistem ekonomi yang berjalan di Indonesia adalah sistem ekonomi Pancasila tetapi prakteknya cenderung sedikit menjurus ke ekonomi liberal (pasar), yang tidak cocok dengan keadaan Indonesia. WTO dan MEA yang diikuti Indonesia jelas efek dari arus globalisasi. Maka dengan kondisi saat ini dimana masih banyak barang impor yang masuk ke Indonesia, jelas dampak perdagangan bebas pada Indonesia cenderung merugikan.