Kamis, 25 Februari 2016

Filosofi dan Realita

Filosofi, sesuatu yang berkaitan dengan teori dengan ketentuan tetap yang berlaku. Sementara realita merupakan sesuatu yang berkaitan dengan perkembangan sekarang. Entah mengapa mungkin banyak orang tak begitu menyukai sesuatu yang diawali dari filosofi. Termasuk saya sendiri. Kalau istilahnya sih filosofi itu kekunoan (walaupun tidak selalu) dan realita itu kekinian (tidak selalu juga).

Bagi sebagian kalangan, terutama dari pengajar dan peneliti, filosofi adalah hal yang harus dipahami sebelum bertindak ataupun memutuskan sesuatu. Artinya, segala tindakan harus dilandasi aturan yang tak boleh dilanggar. Contoh saja, saya ingin merancang sebuah absorber packed bed untuk pemurnian biogas. Jelas filosofinya adalah harus bagus laju transfer massanya dan banyak CO2 dan H2S (gas pencemar) yang terlucuti. Ambil saja kadar methane di biogas diharapkan naik hingga 90%. Apakah realitanya sesuai 90% yang diharapkan? Belum tentu.

Jika diuji, hasilnya bisa berbeda. Faktornya adalah manusia dan lingkungan. Inilah yang menyebabkan filosofi dan realita sering berbeda. Kalau pada saat di lapangan terjadi kebocoran pada absorber akibat kecerobohan operator (manusia), maka bisa jadi filosofinya gagal karena pasti kurang dari 90% yang diharapkan. Sebaliknya, kalau ternyata data dilapangan melebihi ekspektasi (katakan saja kadarnya naik jadi 95%), maka filosofinya sesuai dengan realita. Tapi jika ditelaah lebih lanjut maka orang akan berkata begini "wah hasilnya melebihi dari perkiraan, artinya kan mungkin banget lebih dari 90%. Nggak sesuai teorinya". Maka mau lebih atau kurang tetap saja realitanya demikian, tidak terbantahkan. Dan tidak sesuai teorinya. Karena tujuan utamanya pemurnian biogas dengan melucuti H2S dan CO2 sebagai kontaminan biogas itu dan kadar methane-nya mencapai 90%.

Jadi didunia manapun tetap saja antara filosofi dan realita sering berbeda seiring perkembangan zaman. Di sepakbola saja tim dengan ball possession tertinggi bisa jadi kalah sama tim dengan ball possession rendah. Itu karena sepakbola pada dasarnya adalah memasukkan bola (mencetak gol) ke gawang lawan sebanyak mungkin. Bukan meningkatkan ball possession. Maka saya pun menganggap kalau filosofi itu sesuatu yang berbelit-belit bila diterangkan. Tapi bukan berarti filosofi tidak dipelajari. Cukup tahu saja, karena realitanya adalah inti atau tujuan utama sesungguhnya dari sesuatu yang akan dicapai.


Kutipan dari dosen saya : "Teori baru akan menggantikan teori yang lama seiring perkembangan zaman jika landasannya lebih kuat."

Tidak ada komentar: